26 April 2018

“Pada Senja yang Membawamu Pergi” dan Kisah Tak Terulang

26 April 3 Comments
Friday, 20 April, 2018
After midnight, duabelas kosong sembilan

Tak seperti biasanya aku masih belum terlelap dalam balutan mimpi, lewat tengah malam seperti ini dan aku masih terjaga menemani laptopku yang sedari tadi belum memjamkan layarnya. Membaca kerap kali membuatku lupa waktu, terlebih jika itu adalah bacaan cerita yang terangkum dalam karya prosa bernama novel. Satu hingga dua jam yang kuhabiskan untuk menikmati setiap alur dalam ceritanya bahkan tidak terasa olehku. Entahlah, mungkin inilah yang sering disebut membaca membuat candu. Meskipun kutahu ada lebih banyak orang yang tidak suka dengan kegiatan ini, apalagi jika itu tentang materi, teori dan konsep-konsep yang seakan membuat muntah jika keseringan dibaca. Hahaha, terlalu berlebihan sih menyebutnya seperti itu.



imageMalam ini aku baru saja menyelesaikan novel dari penulis yang baru-baru ini menarik perhatianku dengan karya-karyanya. “Pada Senja Yang Membawamu Pergi” buah tulisan karya Boy Candra yang membuatku terbawa suasana malam ini. entah karena apa, Boy Candra akhir-akhir ini menjadi salah satu penulis yang masuk dalam daftar penulis kesukaanku selain “Ibu Suri” Dee Lestari yang masih tetap jadi nomor satu menurutku. Novel “Pada Senja Yang Membawamu Pergi” ini merupakan novel kedua dari Boy Candra yang telah selesai kubaca. Berawal dari kiriman ebook dari adik sepupuku, aku mulai mengikuti pilihan kata-kata Boy Candra yang tertulis dari tangannya. Novel karya Boy Candra yang pertama kubaca adalah “Seperti Hujan Yang Jatuh Ke Bumi”. Nuansa romantis dari kata-kata dalam novel itu sekan menjadi stimulan untukku mencari tahu lebih banyak tentang buku-buku karyanya. Bahasa yang ringan namun tetap terasa manis tergambar dalam beberapa part yang menjadi bagian kesukaanku. Salah satu yang aku sukai dari novel Boy Candra adalah selalu ada kutipan yang enak dibaca di setiap berganti bagian (setidaknya sampai novel kedua yang kubaca ini).

Menurutku, Boy Candra termasuk salah satu penulis yang pandai mengambil hati para pembaca dengan menghadirkan alur cerita yang seolah bisa dialami oleh siapapun yang membacanya. Terlebih untuk urusan romantisme kata-kata, Boy Candra selalu bisa menempatkan kalimat yang terasa sangat manis untuk dibaca dan dibayangkan. Sangat cocok dengan kehidupan remaja masa kini, mungkin sih, setidaknya aku sendiri bisa tenggelam dalam alur cerita yang seolah bisa aku rasakan dan aku alami sendiri. Tak jarang senyum-senyum kecil tersimpul dari bibirku saat membaca part yang membuatku bisa membayangkan jika aku mengalaminya sendiri. Saat aku menulis ini pun terkadang masih terngiang bayangan cerita novel yang baru saja selesai kubaca. Haha, senyum kecil tersimpul lagi di bibirku :-). Novel “Pada Senja Yang Membawamu Pergi” yang baru saja kubaca ini seolah membawaku kembali pada masa ketika di perkuliahan. Yahh meskipun belum genap setahun aku menyelesaikan studi S1-ku, masa kuliah di sebuah perguruan tinggi seakan tergambar di beberapa bagian dalam novel ini. tidak sepenuhnya sama memang, namun sungguh kuakui bahwa cerita di novel ini benar-benar membawaku kembali mengingat masa-masa perkuliahan, terlebih di 2 semester terakhir perkuliahanku.

Persahabatan, harapan, cita, dan cinta terangkum manis dibalut indahnya cerita kehidupan anak kos juga seluk-beluk kisah mahasiswa semester akhir. Walau tak semuanya terjadi dalam kisa perkuliahanku (terutama soal cinta dan asmara), tapi alur cerita ini cukup membuatku membayangkan kehidupan masa-masa perkuliahan yang kulalui dengan banyak cerita. Dimulai dari persahabatan yang begitu akrab dan dekat, cerita di novel ini mengingatkanku pada sahabat-sahabatku kala masih kuliah (entah mereka menganggapku sahabat atau enggak, setidaknya aku menganggapnya seperti itu, hehe). Kumpul bersama, main bareng, makan bareng, sampai saling berbagi segala cerita antara kami pun menjadi makanan sehari-hari. Satu lagi yang tidak ketinggalan dan tidak patut ditiru, ngrasani menjadi hal paling membuat kangen yang wajib bagi setiap lahan kumpul kami. Tidak peduli bahan pembicaraannya mulai dari teman sendiri, dosen, kebijakan, sistem pelayanan, sampai kalau kami sedang berada di jalur yang benar membahas tentang agamapun jadi hal yang menarik. Hal-hal seperti ini tergambar oleh kehidupan Gian, Andre, Randi, dan Putri dalam novel. Sebagai mahasiswa semester tua yang mendekati kelulusan yang mengharuskan mereka disibukkan berbagai urusan masing-masing, tetapi nuansa kumpul bersama tetap tidak ditinggalkan. Bahkan makan bersama di warung kesukaan, main bersama melepas lelah pun masih dilakukan oleh mereka. Ahh jadi ingat sahabat-sahabatku di sana, “Hey, kalian baik-baik saja kan?”.

Sampai pada kalimat yang kutulis ini, waktu di analog pojok kanan bawah laptopku menunjukkan angka 12:54 AM. Itu artinya sudah sekitar 45 menit aku menuliskan cerita ini. Aku berharap tidak hanya sampai di tulisan ini saja, karena masih ada banyak yang sebenarnya ingin kuceritakan tentang novel dan tentang kehidupanku masa itu. Tapi sepertinya aku harus memutar otak untuk membuatnya sederhana agar lebih terasa nyaman dibaca dan tidak berbelit-belit. Aku mulai mengubah posisi yang tadinya duduk tegak menjadi tengkurap, mencoba meluruskan badan yang sebenarnya aku tahu posisi ini menjadikanku rawan mengantuk. Ahh biar sajalah ini mengalir apa adanya, sampai pada seberapa kuat aku akan menuliskan cerita untuk mengiring malam menuju pagiku nanti. Masih diiringi dua lagu yang sedari tadi kuputar berulang-ulang, mungkin sudah lima kali lagu “Satu Jam Saja” dan “Larut Menuju Pagi” ini kuputar. Tak apa, hanya dua lagu ini yang aku tahu bisa menemani sunyinya malam ini sembari aku menuliskan cerita. Pukul satu lebih satu menit dini hari dan aku masih belum menemukan kata yang tepat untuk melanjutkan cerita yang telah tersusun menjadi kalimat demi kalimat di atas.

Sejenak aku mengingat persahabatan yang tergambar oleh keempat tokoh di novel ini hampir sempurna menggambarkan persahabatanku, atau mungkin pada kebanyakan mahasiswa pada umumnya juga. Makan bersama, pergi ke perpustakaan kampus bersama, main bersama, saling mengunjungi kos atau rumah pun pernah, pergi menonton acara festival kampus bersama pun tidak terlewatkan oleh kami. Apalagi careness yang terjalin diantara kami pun sudah sedemikian erat, meskipun tidak seekstrim “aku rela mati demi kamu”, tapi kami pernah melaluinya bersama-sama. Tentang skripsi, jangan ditanyakan lagi. Hampir setiap ketemu, topik yang selalu menjadi awalan pembahasan adalah sebuah karya berbentuk buku tebal dengan sampul hitam dan tulisan emas yang bernama skripsi itu. Tetapi yang aku salutkan dari novel ini adalah kejelian seorang Boy Candra memasukkan rahasia umum tentang skripsi yang kenyataannya tidak sepenuhnya murni. Sempat tertawa juga membaca penjelasan Andre dalam cerita “penelitian itu formalitas saja, pada akhirnya data yang diperoleh tidak semuanya dapat digunakan, karena beberapa alasan. Selain itu kalau ada data yang tidak pas, pembimbing pun akan meminta ‘menjadikan’ data itu bisa digunakan atau dengan kata lain akan ada pengolahan data untuk memperoleh data yang diinginkan”. Itulah yang terjadi saat ini dikebanyakan kehidupan mahasiswa semester tua yang sedang berhadapan dengan skripsi, meskipun juga tidak menutup masih ada juga yang berjalan sebagaimana mestinya. imageJual-beli skripsi juga sudah menjadi hal yang normal dan sah-sah saja, karena nantinya yang dipertanggungjawabkan adalah isi dari apa yang ditulis bukan bagaimana proses menjadi sebuah skripsi tersebut. Hal yang aku salutkan lagi dari novel ini adalah kata-kata Andre yang meskipun dia tidak menyukai sistem pendidikan yang seperti itu, dia tidak banyak mengomentari karena merasa masih belum punya daya unuk bisa memberikan solusi. Selain itu, tidak ada judgement untuk mereka-mereka yang melakukan hal-hal tersebut, karena semua kembali pada diri masing-masing, setidaknya dia masih berusaha menjalani setiap prosesnya meskipun tidak sepenuhnya benar. Dia jujur melakukan dan mengatakannya, point nya adalah Kejujuran itu merupakan sebuah harga diri. Setidaknya perkuliahan ataupun skripsi sekalipun adalah sebuah pertanggungjawaban dari sesuatu yang dimulai dan harus diselesaikan, namun semuanya kembali pada yang menjalani. Mau cepat, lambat, nyantai, atau berhenti sekalipun, itu adalah keputusan yang harus dipertanggungjawabkan. I like it so much!

Makan bersama sudah, nongkrong bersama sudah, main bersama sudah, sharing dan cerita sudah, bahas skripsi sudah juga, selanjutnya part yang menjadi ujung dari pertemuan. Terpisah oleh keadaan yang sudah pasti akan terjadi setelahnya, setelah semua hiruk-pikuk kebersamaan yang dijalani ternyata ada titik perpisahan yang menanti. Sidang yang berlanjut ke seremonial wisuda menjadi hal yang menampilkan pergelutan antara bahagia dan kesedihan yang menjadi satu. Satu sisi syukur kebahagiaan menyelimuti karena telah berhasil menyelesaikan salah satu kewajiban dalam studi, namun di sisi yang lain kesedihan memaksa ikut menyapa karena akan berpisah dengan orang-orang yang selama ini membersamai perjalanan selama menuntut ilmu. Situasi ini tergambar dalam novel ketika momen wisuda Putri, satu-satunya gadis yang tergabung dalam ikatan persahabatan mereka. Baik Putri ataupun ketiga sahabat laki-lakinya itu sama-sama merasa kehilangan sosok yang selama ini membersamai perjalanan hidup menjadi seorang mahasiswa. Keadaan ini pula yang kurasakan saat melewati momen wisuda, artinya aku harus siap menjalani hidup yang tak seperti biasanya. Aku harus siap terpisahkan jarak dan waktu dengan sahabat-sahabat yang sebelumnya selalu menemani, juga harus siap membuka diri untuk kehidupan yang baru. Bagiku pribadi keadaan seperti ini terasa berat untuk dijalani, jujur saja aku adalah tipe orang yang akan sangat kesulitan jika tanpa hadirnya seorang teman. Oleh karenanya, berpisah dengan teman atau sahabat adalah hal yang terasa begitu berat kurasakan. Seolah sahabat adalah harta berharga yang tak ternilai, sebab itu aku selalu berusaha menempatkan sahabat di ruang terbaik. Selalu ada tempat terbaik untuk seorang sahabat.

imageTulisan ini sempat terhenti beberapa waktu, karena sesuatu hal yang tak bisa kujelaskan. Sebenarnya, untuk melanjutkannya pun aku merasa sangat berat. Sebab menulis kenangan akan terasa lebih mudah ketika kita sedang merasa dalam posisi yang mendukung. Itu artinya akan sangat sulit melanjutkan sebuah tulisan yang diawali oleh rasa, sebab perasaan akan berubah seiring bergantinya waktu. Meskipun agak terasa sulit, namun aku berusaha menyelesaikan tulisan ini agar tidak terasa mengambang dalam bayang saja. Tulisan ini berawal dari perasaan rindu yang muncul akibat terlalu dalam terjerumus dalam alur novel “Pada Senja Yang Membawamu Pergi”, bukan mendramatisir tetapi menurutku novel ini sangat relevan dengan kehidupan mahasiswa, terutama kehidupan masa perkuliahan yang aku jalani. Sejenak teringat momen-momen tak terlupakan yang pernah dilalui bersama sahabat-sahabatku. Lewat tulisan ini juga, aku tak bisa menyembunyikan lagi kerinduan kepada kalian.

“hai bek, masih suka pesen indomie dobel telur pake cabe kan?”
“dinar, minggu ini udah makan indomie berapa kali?”
“kit, cit, mel, dep, lancar kan kerjanya?”
“cind, masih mancung kan?”
“null, kapan nikah?”
“kak, mau sidang kapan?”

Pertanyaan-pertanyaan yang kutujukan untuk sahabat-sahabat disana. Ahh jadi ingat, ada beberapa kata yang kutuliskan menjelang wisudaku. “Menjadi apapun kita nanti, seperti apapun kita nanti, semoga Tuhan masih berkenan izinkan kita menjaga persahabatan ini”, kata-kata yang sempat tertulis olehku itu semoga menjadi doa. Teringat lirik sederhana dari Ungu,

Hidup hanya sebuah rencana
Yang tak akan pernah bisa terulang

Sama seperti kisahku dengan kalian, biarkan tetap begitu adanya, indah dan tak akan pernah terulang. Hanya bisa diingat, karena semuanya terekam indah dan tersimpan rapi dalam album yang bernama “Kenangan”. Ketika kalian baca tulisan ini nanti, aku ingin kalian tahu bahwa saat menuliskan ini aku sedang merindukan kalian. :)

Terimakasih Boy Candra atas novel “Pada Senja Yang Membawamu Pergi” yang telah membawaku juga mengingat sahabat-sahabatku, juga kehidupan masa kuliahku. Meskipun pada akhirnya aku belum bisa bertemu dengan Aira, tapi tak apa. Perjalanan masih panjang, semoga Aira dalam novel ini menjelma menjadi nyata dalam kehidupan. Jika bukan dalam kehidupanku, semoga dia hadir dalam kehidupan Gian-Gian yang lain di dunia nyata. “Aira, Kamu dimana?” ;)

13 April 2018

Konsistensi Lirik Sederhana Namun Tetap Indah, The Rain

13 April 0 Comments
Selamat malam rekan-rekan Mata Pena Ku, kembali lagi bertemu dengan tulisan-tulisan di blog sederhana ini. Bulan maret telah berlalu dan tergantikan oleh April yang sudah berjalan beberapa waktu pula. Bagaimana kabar bulan April teman-teman sekalian? Semoga selalu menyenangkan dan berbahagia dalam menjalani hidup.

Pada kesempatan ini saya akan sedikit mencoba memberikan bacaan ringan tentang salah satu grup band yang masih eksis di blantika musik tanah air. Mumpung musimnya lagi hujan (hihi, apa hubungannya ya??) nah ngomong-ngomong soal hujan, band yang akan kita bahas kali ini sangat erat kaitannya dengan hujan. Yap, The Rain menjadi alasan saya untuk menggoreskan pena pada tulisan ini.

ed2bde34-adbc-42c3-ae1b-3e9b2c8336da_512
The Rain yang awal mulanya bernama No Rain ini merupakan salah satu grup band asal Yogyakarta yang masih eksis mewarnai kancah industri musik tanah air. Meskipun personilnya tidak semua berdomisili di Yogyakarta, namun The Rain menjadikan Yogyakarta sebagai homebase mereka. Pasalnya grup ini terbentuk di Yogyakarta ketika para personilnya bertemu dan memutuskan untuk bermain musik bersama sebagai The Rain.

Sejak terbentuk 16 Tahun yang lalu di Yogyakarta, band yang digawangi oleh Indra Prasta (Gitar-Vokal), Iwan Tanda (Gitar), Ipul Bahri (Bass), dan Aang Anggoro (Drum) ini masih menunjukkan eksistensi dalam mewarnai kancah musik tanah air. Menganut aliran musik pop yang populer dikalangan anak muda ini, The Rain berhasil membuahkan hits-hits yang familiar di telinga penikmat musik indonesia. Terlebih bagi para remaja yang sedang dimabuk asmara, lagu-lagu The Rain seakan menjadi soundtrack kisah asmaranya.

Ada hal menarik yang dimiliki dan menjadi ciri khas dari The Rain sendiri, secara musikalitas memang The Rain menurut saya belum bisa dibandingkan dengan musik-muthe-rainsik karya maestro seperti Ahmad Dhani, God Bless, dan lain-lain. Namun lewat lirik-lirik sederhana yang menggugah selera, The Rain mampu menghipnotis pendengar musik tanah air. Berdasarkan pengalaman saya mendengar lagu-lagu mereka, liriknya sangat sederhana namun mampu menggambarkan detail perasaan yang dialami seseorang. Tidak percaya? Silahkan dengarkan sendiri lagu-lagu mereka.

Lirik sederhana namun tetap indah inilah yang menjadi kekuatan The Rain untuk bisa diterima para penikmat musik tanah air. Sebagi contoh saja, The Rain berhasil memikat hati para ABG (Anak Baru Gede) yang mayoritas anak sekolah atau kuliah ini dengan Trilogy Terlatih Patah Hati, Gagal Bersembunyi, dan Penawar Letih. Trilogy lagu yang proses rilisnya pada tanggal yang sama selama tiga tahun berturut-turut ini mempunyai komposisi lirik yang mudah dicerna tapi tetap tidak norak. Terlebih untuk hits Terlatih patah Hati dan Gagal Bersembunyi yang sangat familiar dengan kehidupan asmara para remaja masa kini. Pasalnya dua lagu tersebut menceritakan tentang kehidupan patah hati dan kerinduan kepada mantan kekasih. Lihat saja liriknya

Begini rasanya terlatih patah hati
Hadapi getirnya terlatih disakiti
Bertepuk sebelah tangan (sudah biasa)
Ditinggal tanpa alasan (sudah biasa)
Penuh luka itu pasti, tapi aku tetap bernyanyi

Dan juga lirik yang ini nih,

Kau tahu aku merelakanmu
Aku Cuma rindu, aku Cuma rindu
Tak kan mencoba tuk merebutmu
Aku Cuma rindu, itu saja

the-rain-gagal-bersembunyi
Sekilas lirik tersebut sangat nyaman didengar oleh telinga karena pemilihan kata yang sangat pas untuk kehidupan asmara anak jaman sekarang. Dua hits yang terkesan mengenaskan namun dibalut oleh lirik yang tetap indah itu semakin lengkap dengan lagu yang ketiga dari sekuel trilogi terlatih patah hati yaitu Penawar Letih. Begini penggalan liriknya

Walaupun kadang kau juga menyebalkan
Namun tak mengurangi teduh tatapan
Tetaplah menjadi penawar letihku
Dan aku berjanji selalu menjagamu

Romantis bukan? Setidaknya menurut saya lirik tersebut merupakan salah satu lirik romantis yang digarap oleh The Rain. Lirik-lirik sederhana dengan penataan kata yang pas menjadikan lagu-lagu The Rain terasa lebih enak didengar dan terdengar indah. Mungkin itu salah satu rahasia konsistensi bermusik yang dijalani oleh The Rain dengan melahirkan lirik-lirik sederhana namun tetap bisa diterima dan terasa indah.

Oh iya, Selain lirik-lirik yang sederhana namun indah ada hal lain yang menarik dari The Rain yaitu selalu bisa menyelipkan semacam kata mutiara yang bisa dipakai untuk kutipan-kutipan dalam hidup. Bukan hanya itu, lirik-lirik memotivasi juga pernah mereka garap dengan apik. Penasaran?? (sama, saya juga) tapi tenang akan kita bahas suatu hari nanti, tidak sekarang (jadi tunggu aja yaa).



Masih penasaran dengan lirik-lirik The Rain? Silahkan temen-temen nikmati sendiri musiknya, jika sudah silahkan temukan hal-hal menarik lain dari The Rain. Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar untuk melengkapi hal-hal menarik dari The Rain yang kalian temukan atau sekedar menyapa dan berbagi cerita. Selamat menikmati dan salam menulis! Mari Menulis untuk Kebahagiaan! ^_^

10 March 2018

Apa dan Kenapa: Filosofi Makna “Perahu Djogja”

10 March 4 Comments
Hai..hai para pembaca yang budiman, bertemu lagi di postingan blog ini. Pada episode kali ini (episode, dikira sinetron?? Hehe), maksudnya edisi kali ini saya akan memberikan penjelasan tentang blog ini. Wah padahal sudah lama sekali blog ini lahir loh, kok baru dijelaskan sekarang ya?? Iya, benar sekali blog ini sudah terlahir dari sekitar 4 tahun lalu. Kenapa baru saya keluarkan penjelasan di tahun yang ke-4 ini? Mungkin karena selama ini masih banyak perubahan yang terjadi di blog ini, baik itu tampilan luar, dalam ataupun isi dari blog ini. Bagi para pembaca yang mungkin bertanya-tanya atau ingin tahu lebih banyak tentang blog ini, silahkan nikmati tulisan saya kali ini.

Tulisan ini saya buat atas dasar pertanyaan dari salah satu teman yang menanyakan maksud dari kata “perahudjogja” yang menjadi alamat homepage dari blog ini. Berangkat dari pertanyaan tersebut, saya mulai berpikir untuk sharing maksud dari penamaan alamat blog ini. Sejujurnya, sudah lama saya ingin berbagi tentang nama “perahudjogja”, namun sepertinya keinginan untuk memendamnya jauh lebih kuat daripada membagikannya. Selain itu pula, dari segi penulisan belum menemukan bahasa dan waktu yang tepat untuk dibagikan kepada para pembaca blog. Nahh, itu alasan kenapa saya belum membagikan maksud kata “perahudjogja” pada penulisan alamat homepage blog ini.

Hari ini saya mencoba menuliskan tentang maksud dari kata “perahudjogja” pada alamat blog ini. Namun sebelumnya saya ingin sedikit mereview tentang identitas blog ini, alih-alih sebagai perkenalan yang tertunda. Mari kita mulai perkenalannya, awal mula blog ini tercipta adalah karena keinginan untuk mengabadikan setiap tulisan saya agar tidak tercecer kemana-mana (sejak dulu saya suka mencoret-coret kertas dengan tulisan-tulisan). Tahun 2014 kalau tidak salah, saya iseng mendaftar blogger karena penasaran saja. Saya bahkan lupa tulisan pertama di blog ini, yang jelas pada saat itu blog ini hanya sebagai ajang pembelajaran baik itu tentang tulisan maupun desain web. Saya masih ingat, blog ini terdaftar saat saya masih berada di semester 2 perkuliahan. Awalnya, blog ini hanya berisi puisi dan kumpulan chord gitar yang saya kumpulkan dari berbagai sumber. Seiring berjalannya waktu, saya berpikir untuk mengumpulkan tulisan-tulisan yang masih tersisa di lembar-lembar kertas yang saat itu masih saya miliki. Kemudian saya mulai menyelipkan materi-materi perkuliahan yang pernah saya dapat selama ini. berangkat dari sanalah blog ini mulai saya kelola dan saya utak-atik. Saya tidak ingat berapa kali blog ini berganti template dan layout. Hingga pada semester 6 ke belakang saya mulai mengkonsistenkan pengelolaan blog pribadi ini. Menjelang akhir sebelum lulus, sembari mengerjakan skripsi saya mulai menetapkan arah dan tujuan blog ini. Hingga akhirnya terbentuklah blog “Mata Pena Ku” ini sampai sekarang.

Header Blog Mata Pena Ku

Terlalu panjang ya kenalannya?? Hehe maklum, mengenang masa lalu memang terlalu asyik. Baiklah, saya kira cukup untuk review blog jaman dulunya, sekarang saatnya masuk ke pembahasan utama. Nama blog ini seperti yang sudah saya paparkan tadi yaitu Mata Pena Ku. Kenapa saya menamakan seperti itu? Padahal alamatnya tidak menyebut pena sama sekali, malah “perahudjogja”. Saya mulai dari penamaan Mata Pena Ku terlebih dahulu, awal mulanya bukan Mata Pena Ku tetapi Rossyadie Area. Ya, saya masih ingat betul kenapa dulu saya namakan Rossyadie Area, karena saya pikir blog ini nantinya akan memuat hal-hal tentang tulisan-tulisan saya. Namun kemudian saya sengaja mengganti dengan header “Mata Pena Ku”, mengapa? Karena saat itu saya berharap blog ini nantinya akan menjadi penyambung kata yang tergores dari mata pena saya. Saya berharap blog ini memuat apa saja yag pernah tergoreskan oleh pena, pada masa perubahan template saya pernah memasang satu buah ayat Al-Qur’an yaitu “Nuun, Walqolami wa mayasthuruun”. Ayat awal dari surat al qolam (pena) yang artinya “Demi Pena, dan apa yang dia tulis”, salah satu ayat yang menginspirasi saya menamakan blog ini Mata Pena Ku. Seperti pena yang melukiskan kata pada baris-baris kertas, saya ingin blog ini menjadi tempat curahan dan ungkapan saya dalam mengukir cerita, cinta, dan juga cita-cita. Sesuai dengan deskripsi header blog Mata Pena Ku : Kuresapi, Kuhayati, Kutetapkan dalam Hati Nurani (sadur pitutur dalam lirik hymne penghamba karya Bpk Kyai Tanjung).

“Sebab kata tak pernah ada habisnya, itulah mengapa pena tak punya alasan untuk tak menuliskannya”
Semoga tergores tulisan-tulisan indah, menginspirasi, dan bermanfaat dari Mata Pena Ku.

Nah itu tadi sedikit tentang penamaan Mata Pena Ku, selanjutnya kalian pasti pernah bertanya-tanya tentang blog ini, kenapa Judul, alamat, dan penulis tidak ada hubungannya. Sengaja saya tidak menggunakan unsur nama dalam penulisan alamat blog ini, jujur saja pernah terpikir untuk menyelipkan nama rosyadi dalam alamat blog ini, tapi saya urungkan niat itu. Saya lebih suka menuliskan alamat “perahudjogja” untuk blog ini, karena saya lah “perahudjogja” itu. Kata “perahudjogja” sebenarnya sudah muncul di benak saya ketika masih duduk di sekolah menengah atas, saat itu saya bersekolah di salah satu pondok modern di jawa timur. Di balik makna filosofis yang membangunnya, kata “perahudjogja” lebih dulu terinspirasi dari salah satu lagu Maudy Ayunda “Perahu Kertas” yang ditulis oleh pengarang novel aslinya yaitu Dewi “Dee” Lestari. Saya tidak menampik lagu tersebut ikut menginspirasi penamaan “perahudjogja”, karena lagu ini adalah salah satu kenangan saya dengan seorang sahabat di jogja. Namun lagu “Perahu Kertas” tidak sepenuhnya membangun kata “perahudjogja” yang saya maksudkan di blog ini.

Kembali ke “perahudjogja”, dulu saya menjadikan kata “perahudjogja” sebagai salah satu nickname atau sebutan untuk diri saya sendiri, selain djogjaboy, decemberboy, rossyadie.maz atau yang lainnya. Maklum lah, jaman sekolah pasti ingin berlagak keren dengan nama-nama yang diinginkan dan dibuat sendiri yang menunjukkan ciri khasnya. Saya akui, saya pun melewati moment dan fase seperti itu sampai pada akhirnya saya memilih nama belakang untuk menjadi nickname yaitu RSY atau Rosyadi. Kata “perahudjogja” awalnya saya hanya beranggapan bahwa saya lah perahudjogja itu, karena saya dari jogja yang mengarungi kehidupan di daerah lain layaknya perahu yang sedang mengarungi samudera. Begitulah gampangnya saya menjelaskan tentang “perahudjogja”. Intinya adalah karena saya datang dari jogja dan pergi untuk mencari bekal pengalaman, ilmu pengetahuan, dan mengarungi kehidupan, begitulah kira-kira.

Tetapi lebih dalam saya memaknai kata “perahudjogja” ini sesuai dengan arti kata per katanya. Dua kata yang membentuknya adalah “perahu” dan “djogja”, sekilas kata-kata ini tidak bermakna dalam, tetapi saya melihatnya lain. Kata kedua “djogja” sudah pasti menunjukkan darimana saya berasal dan beranjak, tidak salah memang bahwa “djogja” adalah tanah kelahiran saya. Namun lebih jauh lagi saya menggali makna kata “djogja” adalah budayanya yang istimewa dan berhati nyaman. Sejak kapan saya juga tidak begitu paham, jogja identik dengan tagline “istimewa” dan “berhati nyaman”, karena itulah saya mencoba mengambil makna dari kata “djogja” yang istimewa dan berhati nyaman.

Selanjutnya kata “perahu” ini terbesit dalam hati karena nyaman untuk diucapkan, entah karena apa saya tidak tertarik dengan padanan katanya seperti kapal, pesiar, boat, atau apalah itu yang menyerupainya. Kata “perahu” lebih mudah diingat dan terasa nyaman dalam hati, selain karena inspirasi dari lagu “perahu kertas”. Kata “perahu” disini saya memaknainya sebagai sesuatu yang tegar dan tetap tenang meski banyak halangan dan rintangan, layaknya perahu yang terombang-ambing dan dihantam ombak ataupun terbentur karang. Meski terlihat menyedihkan, namun satu hal yang harus selalu diingat oleh “perahu” tersebut, yaitu dia harus tetap berlayar. Meskipun diterjang badai, dihantam ombak, dan digempur karang, perahu harus tetap berlayar. Itulah yang menjadi pesan untuk diri saya sendiri, meskipun dalam mengarungi kehidupan ini banyak halangan, rintangan, cobaan yang menghadang, tetapi hidup harus tetap dilanjutkan. “Show Must Go On” kataku ketika itu berkaitan dengan pertunjukkan.

Jika kedua kata itu bergabung menjadi frase “perahudjogja” maka saya memaknainya sebagai sebuah perahu (seseorang) dari jogja yang mengarungi hiruk-pikuk kehidupan dengan tetap tegar dan tenang, berharap berakhir istimewa dan terasa nyaman di hati (selamat). Kata “perahudjogja” sendiri juga menjadi pengingat bagi diri pribadi untuk senantiasa tegar menjalani dan melanjutkan kehidupan, serta untuk terus belajar menjadi seorang pribadi layaknya jogja yang istimewa dan bisa memberikan kenyamanan (bermanfaat) bagi orang lain ataupun diri sendiri. Oh iya, saya teringat untuk menyertakan kutipan dalam postingan kali ini. kata-kata ini sempat menghiasi deskripsi header blog sebelum berganti yang sekarang ini.

Melenggang tanpa arah, menyusur lalu membaur. Menuju satu titik bermakna, di sanalah perahu bermuara. Dimana hati menatap, maka Tuhan selalu ada di sana. Karena langkah ke belakang membuat luka yang semakin dalam. Namun tetaplah berusaha, jadikan langkahmu menuju masa depan.
Template Blog Mata Pena Ku beberapa waktu lalu


Mungkin itu sedikit banyak rangkaian kata yang menjelaskan tentang apa itu “perahudjogja”. Cukup kah menjawab pertanyaan kalian? Jika masih kurang, silahkan tinggalkan jejak di kolom komentar. Saya akan sangat senang berbagi cerita dengan kalian semua. Salam dari perahudjogja yang masih mencari pelabuhan selanjutnya. Terimakasih!!

20 February 2018

Romantic Tunes #4 dan Pertemuan yang Tersisa

20 February 0 Comments

Februari, masih ingat kan dengan apa yang saya posting beberapa waktu lalu tentang hal-hal menarik mengenai bulan februari?. Bulan Februari memang menjadi bulan yang penuh dengan hal menarik, bagi sebagian atau bahkan kebanyakan orang. Setelah Hari Valentine yang masih menjadi icon tak tergantikan bulan februari, ada satu hal lain yang bagi sebagian orang dinanti-nantikan di bulan Februari. Romantic Tunes, event konser tahunan ini selalu dinantikan para penikmat musik di Indonesia khususnya Yogyakarta. Romantic Tunes merupakan event tahunan yang diadakan oleh salah satu Event Organizer dari Jogja yaitu Secre Creative. Tahun 2018 ini adalah keempat kalinya event Romantic Tunes digelar di Yogyakarta.
RT 4
Romantic Tunes #4 kali ini seakan menjadi oase di tengah padang pasir bagi para Sheilagank – Fans Sheila on 7 – terutama untuk saya sendiri. Bagaimana tidak, selama empat tahun berturut-turut Secre Creative tak bosan menghadirkan band tuan rumah, Sheila On 7. Bagi saya pribadi, Romantic Tunes #4 kali ini seakan menjadi obat kerinduan bernyanyi dan berjingkrak bersama Sheila On 7. Setelah Desember lalu saya melewatkan konser Sheila On 7 di Jogja juga, karena suatu hal. Beruntung untuk konser yang satu ini saya bisa mengamankan tiket, meski harus berburu di beberapa outlet tiket box (maklum, masih setia dengan tiket pre-sale yang bersahabat di kantong).

Urusan antusiasme penonton jangan ditanya lagi, event ini sudah terkenal di kalangan Sheilagank sebagai salah satu event yang tidak pernah tidak sukses. Benar saja, dilihat dari track record penjualan tiket saja sudah cukup membuktikan bahwa event ini memang dinanti-nantikan. Penjualan tiket pre-sale online hanya beberapa jam saja sudah habis terjual, begitupun tiket offline yang tidak membutuhkan waktu satu hari untuk bisa sold out. Padahal tiket yang dijual di sesi pertama ini berjumlah sekitar 1000 tiket yang terbagi dalam kelas tribun dan festival.
Lenovo_A1000_IMG_20180105_190347Lenovo_A1000_IMG_20180217_162845
Sabtu, 17 Februari 2018 akhirnya tiba, hari yang ditunggu-tunggu datang juga. Berbekal kuitansi yang sebenarnya berjumlah 12 tiket, namun yang menjadi atas nama saya hanya lima (peraturan mengharuskan setiap satu ID maksimal 5 tiket). Sengaja saya datang ke GOR UNY – Venue konser – agak siang menjelang sore, berharap antrian penukaran tiket tidak sepanjang pagi hari. Namun ternyata dugaan saya tidak sepenuhnya benar, pukul 14.00 terlihat banyak orangg yang akan menukarkan tiket ataupun membeli tiket OTS (On The Spot) dan masih terus berdatangan. Untungnya saya segera mengambil tempat di barisan penukaran tiket, meskipun tidak sesuai harapan namun tidak begitu lama saya menunggu hingga tiba antrian saya. Setelah menyerahkan kuitansi dan Id card kepada panitia, saya diberikan 5 tiket gelang ditambah 5 voucher dan stiker dari sponsor acara. Tak lupa petugas menjelaskan rules yang harus dipatuhi dan ucapan “Selamat berromantis” terlontar dari bibir sembari memberi senyum yang semakin membuat acara ini lebih manis terasa (jangan baper).
IMG-20180217-WA0011
Terlihat penonton dari berbagai Fanbase sudah mulai berdatangan, SG (Sheilagank) dari purwokerto, jabodetabek, dan daerah lain satu per satu berdatangan untuk menukarkan tiket dan menunggu sang idola yang sedang checksound di dalam GOR. Benar saja jika dikatakan bahwa Romantic Tunes merupakan ajang reuni bagi Sheilagank dari berbagai daerah di Indonesia, semua itu tergambar hari ini dan saya yakin sampai malam nanti akan terus berdatangan. Setelah menyempatkan berfoto di background acara, saya melanjutkan perjalanan pulang dan bersiap-siap untuk nanti malam (saya berpendapat, ketika sudah menggenggam tiket semua terasa lebih tenang).

Setelah melaksanakan kewajiban sembahyang maghrib, saya bersiap-siap berangkat. Sepatu, kaos kaki, celana jeans, gelang dan tak lupa atribut wajib konser yaitu Kaos Sheilagank sudah saya kenakan, artinya saya siap berangkat. Berpamitan kepada orang tua tak terlewatkan sebelum akhirnya saya meluncur ke tempat pertemuan dengan teman-teman yang sudah sepakat untuk berangkat bersama. Tepat pukul 18.45 kami bertujuh menggeber motor matic dan berangkat ke tempat konser dengan rasa tak sabar. Seperti biasa, gerbang GOR menuju tempat parkir merupakan jalan paling macet diantara semua jalan yang kami lewati. Sampai di sini kami harus bersabar dan antri mendapatkan karcis parkir, satu demi satu motor maju dan maju sampai akhirnya kami sudah bisa masuk tempat parkir. Sedikit tenang karena kelihatannya acara sedikit molor, hal ini terlihat dari masih banyaknya penonton yang belum memasuki GOR dan belum terdengar alunan musik dari dalam.
Seperti biasa, sebelum memasuki arena konser kami harus melewati pemeriksaan oleh petugas. Hal seperti ini selalu dilakukan di setiap konser untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Setelah tiket dipasangkan oleh petugas, kami dipersilahkan masuk dan menikmati konser. Saat saya masuk memang belum dimulai acaranya, karena sebenarnya event ini saya tidak tahu kapan dimulainya acara. Romantic Tunes memang tidak pernah menggunakan MC untuk memandu acara, acara dimulai ketika artis naik panggung dan melantunkan lagu, itulah yang menjadi ciri khas event ini. Oh iya, saya hampir lupa untuk Romantic Tunes #4 kali ini menghadirkan dua band asal jogja yaitu The Rain dan Sheila On 7. Sesama band tuan rumah dan saling bersahabat, saya pikir ini akan menjadi konser yang keren.

Benar saja, tepat pukul 20.00 lagu pembuka dari The Rain “Ode Penyembuh Luka” mulai diputar di backsound dan ditampilkan di layar. Sembari mendengarkan lagu pembuka yang diputar, satu per satu personil The Rain naik ke panggung dan menyapa penoonton. Tak ayal riuh jeritan penonton menggelegar memenuhi ruangan. Lagu “Terlalu Indah dan Penawar Letih” sambung menyambung dilantunkan oleh sang vokalis, Mas Indra Prasta yang kemudian tak lupa menyapa penonton. “saya naik ke panggung ini dengan pandangan nanar, karena hari ini istri saya lahiran anak pertama kami, doakan ya semoga baik-baik saja” kata-kata Indra memecah keriuhan penonton yang kemudian mengaminkan doa. Ternyata pada saat yang sama istri dari sang vokalis sedang berjuang melahirkan anak pertama mereka, belakangan saya ketahui putra pertama mas Indra lahir tepat pukul 20.00 dan diberi nama “Banu Baskara Prasta”, semoga menjadi anak yang sholeh ya mas!.
Screenshot_2018-02-19-15-41-39(1)
Lantunan lagu-lagu The Rain yang familiar seperti “Gagal Bersembunyi, Berkunjung ke Kotamu, Terlatih Patah Hati” dan beberapa lagu lain kembali mengalun syahdu. Saat lagu “Hingga Detik Ini” mengalun syahdu, Indra meminta penonton untuk menyalakan flashlight di smartphone sehingga terciptalah suasana syahdu penuh kerlip lampu senter dari smartphone para penonton yang mengiringi lagu tersebut. Indah sekali saya melihatnya di berbagai postingan setelah acara selesai. Tidak berhenti di sana, The Rain melanjutkan untuk membawakan lagu “Terimakasih telah mencintaiku, Getir menjadi Tawa, Tolong Aku dan Jabat Erat”. Lagu Jabat erat merupakan Jalan perpisahan penonton dengan The Rain Malam itu, Indra pun meminta penonton untuk berfoto bersama dan meneriakkan “Jogja, Jabat Erat!!”. The Rain menutup pertemuan dengan lagu “Dengar Bisikku” yang syahdu terdengar karena diiringi karaoke massal oleh penonton dan berakhirlah perjumpaan dengan The Rain malam itu.

Panggung kembali dibuat gelap untuk memberi kesempatan crew mempersiapkan penampilan selanjutnya, tentu saja Sheila On 7. Para penonton beristirahat sejenak sambil menyaksikan video yang ditampilkan di layar panggung, terlihat logo-logo Fanbase Sheilagank di seluruh Indonesia Juga ditampilkan secara bergantian. Riuh teriakan penonton pun mulai terdengar ketika logo fanbase mereka tampil di layar panggung, saya juga ikut berteriak semangat ketika logo SGJ (sheilagank jogja) yang berbentuk pick hitam dengan layar merah ditampilkan di layar. Sepertinya tidak butuh waktu yang lama untuk para crew mempersiapkan alat dan segala keperluan lain, backsound segera memutar lagu “Here I Am” yang merupakan mars Sheilagank sebagai pertanda Sheila On 7 akan segera naik panggung.

Akhirnya, sesaat setelah lagu “Here I Am” selesai, Brian, Eross, Duta, dan Adam segera menggebrak panggung dengan lagu pembuka “Menyelamatkanmu”. Lagu yang jarang sekali atau bahkan tidak pernah dibawakan ketika live konser ini seakan menjawab harapan para fans untuk pertunjukan yang menyenangkan. Ucapan terimaksih pertama terucap dari mulut sang vokalis sebelum memulai lagu-lagu berikutnya. Hits “Seberapa Pantas, Buka Mata Buka Telinga, My Lovely” secara berurutan dinyanyikan dengan semangat dan iringan riuh dari para penonton. “Sudah sekitar dua minggu lebih nih kita ngeluarin single baru dari sheila on 7, tidak ada kata selain terimakasih buat kalian yang selalu support kami” begitulah kira-kira kata-kata yang diucapkan Duta sebelum memulai lagu terbaru “Film Favorit” yang baru dirilis pada bulan januari lalu. Sapaan khas Duta selalu menghiasi setiap sela-sela lagu yang dibawakan, “janee ki yo ben ketok rodo ganteng, tapi kok sumuk banget” celotehan Duta yang mengundang tawa penonton karena merasa gerah dengan setelan jaket kulit berwarna hitam yang kemudian dilepasnya.
IMG-20180218-WA0003
Kini setelan mereka seperti biasa, Duta dengan kaos merah, Eross dengan kemeja hitam, Adam berkaos dan juga Brian berkaos seperti biasa. Hanya saja ada sedikit yang menarik perhatian, ketika akhir lagu yang menampilkan solo drum Brian terlihat kerlap-kerlip lampu menghiasi stik drum yang digunakan Brian. Lighting yang tanggap segera meredupkan panggung untuk melihat aksi Brian menggebuk drum dengan stik yang menyala biru, hal ini mengundang sorakan penonton yang semakin keras dibarengi tepuk tangan yang riuh. Selanjutnya “Betapa, Hari Bersamanya, Kita, Sephia, Sahabat Sejati” menjadi nomor tak terlewatkan di setiap konser Sheila On 7. Eross tak mau kalah untuk menyapa penonton, kali ini Eross mengajak penonton untuk membantu bernyani “saya mainkan intronya nanti kalian yang nyanyi yaa, biar duta istirahat dulu” begitu katanya. Lagu “Dan” dipilih untuk dinyanyikan para penonton, karaoke massal terjadi lagi di panggung itu.

“Melompat Lebih Tinggi” menjadi hits penyemangat untuk para penonton bahwa malam itu belum usai. Drum, Gitar, Bass yang berpadu dengan keyboard oleh Ferry dan Synthsizer dari Tomo menggebrak panggung Romantic Tunes Untuk kesekian kalinya. Tak ketinggalan part melodi gitar dari lagu yang dimainkan oleh Eross dengan signature stylenya sendiri “Kuli Panggul” dengan memanggul gitar Fender Telecaster biru dibelakang kepalanya selalu menjadi moment yang dinantikan oleh para penonton.
Akhirnya perjalanan Romantic Tunes malam itu berakhir pada pukul 23.00 dengan lagu penutup dari Sheila On 7 “Sebuah Kisah Klasik Untuk Masa Depan“ yang masih menjadi andalan untuk menutup pertemuan malam itu. Hujan balon menjadi puncak acara Romantic Tunes malam itu. Seperti biasanya, Duta meninggalkan panggung pertama kali setelah berpamitan dengan penonton, selanjutnya disusul Eross setelah menggaungkan efek delay gitarnya dan melempar pick gitar ke arah penonton, Adam menyusul setelah menyelesaikan permainan bassnya, yang terakhir Brian meninggalkan panggung setelah melemparkan stik drum ke arah penonton.
_20180218_120507
Akhirnya Romantic Tunes #4 berakhir dengan menyenangkan, meskipun ada beberapa teknis yang kurang namun tetap tidak mengurangi keromantisan acara malam itu. Capek, waktu dan tenaga yang dikorbankan terbayarkan oleh pertunjukan yang memuaskan para fans dan sesuai tema yang diambil untuk gelaran keempat ini “Senang Bisa Bertemu”. Semoga masih ada kesempatan untuk bertemu lagi di Romantic Tunes selanjutnya, karena setiap pertemuan justru menjadi lebih indah. Terimakasih Secre Creative, The Rain dan Sheila On 7!! Jabat Erat !! dan Jalan Terus!!. ^_^

19 February 2018

Mengurai Makna, “Kasih Tak Memilih” – Letto

19 February 2 Comments



Hai, salam sapa yang semoga cukup untuk membawa kita pada cerianya hari-hari. Bagaimana kabar Februari kalian? Sudahkah menemukan hal menarik di bulan ini? Bagaimanapun kabar Februari kalian, semoga itu adalah keadaan terbaik untuk diri kalian masing-masing.

Tidak jauh-jauh dari Februari, khususnya 14 Februari yang lebih dikenal dengan Hari Valentine dimana orang-orang merayakan hari ini sebagai hari kasih sayang. Masih seputar kasih sayang, kali ini saya akan berbagi tentang lirik lagu yang menurut saya memiliki makna yang dalam. Kasih Tak Memilih, itulah judul lagu yang akan kita bahas kali ini. Seperti sebelum-sebelumnya, lagu yang dibahas kali ini masih menjadi salah satu daftar diskografi dari Band asal Jogja, Letto.

Banyak yang tak menampik kalau lirik lagu yang dibawakan oleh Letto, khususnya yang ditulis oleh Mas Noe memiliki pemaknaan yang dalam. Banyak yang mengakui dalamnya makna lirik lagu dari Mas Noe, meskipun justru menimbulkan beragam pemaknaan dari para pendengarnya. Namun pemaknaan yang berbeda-beda sudah terasa biasa untuk berbagai lirik lagu. Seperti kata Eross Candra  

“Setiap orang punya hak untuk menafsirkan makna lirik lagu yang didengarnya, tentunya sesuai dengan apa yang dirasakan oleh pendengar itu sendiri. Tetapi pasti ada makna asli dari lirik yang ditulis oleh pengarang itu sendiri”

Saya setuju saja dengan pernyataan Eross Candra tersebut, karena ya memang seperti itu adanya.
Sampul Kasih Tak Memilih

Pemaknaan lirik lagu Kasih Tak Memilih dari Letto ini juga merupakan pemaknaan sederhana dari saya, berbekal berbagai referensi yang kemudian saya sederhanakan kalimatnya. Kira-kira seperti inilah hasil pemaknaannya.

Terasa Benci Itu
Yang tersimpan Setiap waktu
Berapa Lama
Ku mau tuk Menderita
Aku Tak mengerti
Kata Dari hati

Enam baris pertama jujur saja sulit untuk mengartikannya, namun dari segi bahasa yang dipilih lirik ini memiliki benang merah yang bisa ditarik. Sebagai manusia, tentunya kita pernah merasakan benci, kecewa, sakit hati dan lain sebagainya. Baris lirik ini menunjukkan kepada kita bahwa jika kita selalu saja menyimpan rasa benci, kecewa, sakit hati dan lain sebagainya (perasaan yang tidak baik) hanya akan membawa penderitaan pada diri sendiri. Akibatnya kita tidak akan mengerti apa yang dimaksudkan oleh hati kita sendiri, karena tertutup oleh rasa benci, kecewa, dan lain-lain. Hati Nurani akan selalu mengatakan hal-hal yang benar.


Sebelum terlambat
Coba tuk mengingat
Seperti kertas yang Putih
Cinta kasih Tak memilih

Empat baris berikutnya yang merupakan reffrain dari lagu ini mengajak untuk mengingat Dia yang kita anggap sebagai Tuhan. Sekilas kalimat “cinta kasih tak memilih” mengisyaratkan tentang romansa cinta yang menjadi anugerah bagi seseorang. Namun setelah saya cermati, kata “Kasih” menurut saya merujuk pada satu entitas bukan kata frase gabungan dari cinta. Jika saya pisahkan maka pemaknaannya akan menjelaskan bahwa sebelum terlambat maka cepat-cepatlah kembali mengingat Dia, karena cinta dari “Kasih” tidak pilih-pilih layaknya kertas yang putih tidak memilih apa yang akan tergoreskan diatasnya. “Kasih” disini adalah makna lain dari Tuhan yang maha pengasih.

Masih di baris ini, seakan mengingatkan bahwa kita tak perlu khawatir akan diterima-tidaknya ibadah, banyak-sedikitnya rejeki, berat-ringannya ujian yang diberikan oleh Tuhan, karena cinta dan anugerah Tuhan tidak memilih kasta. Selama berpasrah tunduk dan patuh, maka Tuhan maha mengetahui.



Cinta Yang tlah Hilang
Seharusnya tak mengapa
Karena Kasih
Kan menjaga Hati yang bersih
Hati Yang tlah murni
Takkan tersakiti



Enam terakhir menjadi penegasan, bahwa kekhawatiran akan sesuatu hal seharusnya tidak menjadi hal yang perlu dirisaukan, selama kita berserah dan bersandar kepada Yang Maha Kuasa. Bahkan cinta (bisa diartikan pacar, kekasih, kesenangan duniawi, dll) yang hilang, pergi dan tak kembali seharusnya tak menjadi dilema kesusahan bagi diri kita. Selama hati kita bersih, maka Tuhan akan menjaganya tetap bersih dan suci. Keyakinan akan Tuhan bertempat tinggal dalam hati nurani yang lebih dalam lagi adalah rasa hati. Layaknya rumah yang nyaman ditinggali, maka hati juga seharusnya dijaga tetap bersih dan suci.

Dua baris terakhir menjadi penutup penjelasan bahwa hati yang bersih, suci, murni dan didalamnya Tuhan hadir dengan yakin maka tidak akan merasa tersakiti, benci, kecewa, dan lain sebagainya. Jika diolok-olok, dihina, dan dipandang rendah, serta hal lain yang menyakitkan hati akan berlapang dada, sadar bahwa segala sesuatunya berasal dari Tuhan dan tidak akan bisa apa-apa jika TanpaNya.



Wa’bud Rabbaka hatta ya’tiyakal yaqiin,maka sembahlah Tuhanmu hingga benar-benar hadir dengan yakin di dalam hati”



Seperti itulah kira-kira pemaknaan saya dalam memahami arti lirik lagu Kasih Tak Memilih dari band Letto yang ditulis oleh Sabrang Mowo Damar Panuluh-Noe Letto. Hampir semua lagu Letto bisa memiliki pemaknaan ke arah religius, entah memang sengaja atau karena sang penulis lagu merupakan putra dari Ulama Maiyah dan budayawan Emha Ainun Nadjib. Sudah pasti banyak pendapat yang berbeda mengenai hal ini, namun tak mengapa karena sejatinya perbedaan pendapat adalah untuk memperkaya khasanah dan wawasan. Bukan untuk saling menghujat dan saling menghina. Islam itu mendamaikan.

Okay, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menjadi bacaan di kala senggang. Jika ada pendapat lain mengenai pemaknaan lagu Kasih tak Memilih silahkan tinggalkan jejak di kolom komentar, mari saling berbagi. Berbagi itu indah, Salam Menulis! ! Matur nuwun!!