28 April 2015

HAK DAN KEWAJIBAN WAJIB PAJAK UMKM

PELAKSANAAN PERPAJAKAN UMKM

A.    KEWAJIBAN WAJIB PAJAK
1.      Kewajiban Mendaftarkan Diri
Sesuai dengan sistem self assessment  maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke KPP atau KP2KP yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Disamping melalui KPP atau KP2KP, pendaftaran NPWP juga dapat dilakukan melalui e-register, yaitu suatu cara pendaftaran NPWP melalui media elektronik on-line (internet).
Bagi UMKM baik perseorangan maupun badan (PT, CV, BUMD, firma, kongsi, koperasi, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik) yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak, wajib mendaftarkan sendiri ke KPP atau K2KP untuk memperoleh NPWP. UMKM milik perseorangan yang wajib memiliki NPWP adalah yang telah memenuhi persyarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektifnya adalah orang pribadi, sedangkan syarat objektifnya adalah memiliki penghasilan yang akan dikenakan pajak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Dengan memiliki NPWP, Wajib Pajak memperoleh beberapa manfaat langsung lainnya, seperti : memenuhi salah satu persyaratan ketika melakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), dan salah satu syarat pembuatan Rekening Koran di bank-bank, dan memenuhi persyaratan untuk bisa mengikuti tender-tender yang dilakukan oleh Pemerintah.
a.       Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana yang merupakan tanda pengenal atau identitas bagi setiap Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada KPP, atau KP2KP dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi yang diperlukan, atau dapat pula mendaftarkan diri secara on-line melalui e-register.


Data pendukung yang perlu disiapkan oleh Wajib Pajak untuk mengisi formulir permohonan antara lain sebagai berikut:
1)      Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dokumen yang diperlukan hanya berupa KTP yang masih berlaku.
2)      Bagi Wajib Pajak Badan, dokumen yang diperlukan antara lain :
·         Akte Pendirian dan Perubahannya.
·         KTP yang masih berlaku sebagai penanggung jawab.
·         Kepada Wajib Pajak diberikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dan Kartu NPWP diberikan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterimanya permohonan secara lengkap. Perlu diketahui masyarakat bahwa untuk pengurusan NPWP tersebut di atas tidak dipungut biaya apapun.
b.      Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Bagi UMKM yang telah memiliki NPWP, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) oleh KPP atau KP2KP apabila telah memenuhi persyaratan tertentu. Syarat untuk dikukuhkan sebagai PKP adalah pengusaha orang pribadi atau badan tersebut melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak dengan jumlah peredaran bruto/penerimaan bruto (omzet) melebihi Rp. 600.000.000,- setahun. UMKM yang tidak memenuhi persyaratan, dapat juga melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Bagi pengusaha yang telah diukuhkan sebagai PKP, diwajibkan untuk memungut PPN dari setiap pembeli/pemakai jasanya dengan menerbitkan faktur pajak. PPN yang sudah dipungut, kemudian dilaporkan dalam laporan bulanan (SPT Masa) dan apabila ternyata ada PPN yang harus disetor ke bank atau kantor pos, maka harus disetor terlebih dahulu sebelum dilaporkan ke ke KPP tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar. KPP atau KP2KP akan melakukan penelitian mengenai keberadaan dan kegiatan usaha di tempat usaha Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai PKP tersebut.

2.      Pembayaran, Pemotongan/Pemungutan, dan Pelaporan Pajak
Wajib Pajak UMKM (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.
a.       Pembayaran Pajak
Mekanisme Pembayaran Pajak :
1.      Membayar sendiri pajak yang terutang :
Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25).  Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu :
·         Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha    Tertentu (OPPT)
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal.
Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT :      0,75 % x jumlah peredaran usaha (omzet) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha.
·         Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPPT)
Wajib Pajak Orang Pribadi adalah orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai pekerja bebas atau sebagai karyawan.
Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu : Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.


b.      Pemotongan / pemungutan pajak
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Apabila Wajib Pajak tergolong sebagai subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak.
Koperasi dan UKM yang berbentuk badan usaha wajib melakukan pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana telah ditetapkan dalam UU PPh. Kewajiban pemotongan /pemungutan PPh oleh Koperasi dan UKM meliputi jenis pajak sebagai berikut :
1)      PPh Pasal 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan. Kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 wajib dilakukan Koperasi dan UKM yang berbadan hukum, setiap dilakukannya pembayaran penghasilan kepada karyawan atau orang pribadi lainnya dan menyetorkan PPh hasil pemotongan tersebut ke Bank persepsi atau kantor Pos serta melaporkannya ke kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Pajak (KP2KP) tempat Koperasi atau UKM terdaftar.
2)      PPh Pasal 4 ayat 2
PPh Pasal 4 ayat (2) adalah pajak atas penghasilan yang berasal dari sumber-sumber tertentu dan pengenaan bersifat final (penghitungan PPh-nya selesai setelah dibayarkan), misalnya :
·         penghasilan dari bunga simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada anggota koperasi Orang Pribadi.
·         penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan.
·         penghasilan dari jasa konstruksi dan
·         penghasilan dari hadiah undian.
Jika koperasi atau UKM yang berbadan hukum melakukan pembayaran atas jenis-jenis penghasilan ini, maka wajib dilakukan pemotongan PPh-nya dan menyetorkan PPh nya ke Bank persepsi atau kantor Pos serta melaporkannya ke kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Pajak (KP2KP) tempat Koperasi atau UKM terdaftar.
Demikian juga, apabila Koperasi dan UKM menerima penghasilan dari pengalihan tanah dan atau bangunan atau menerima penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang penyewanya tidak ditunjuk sebagai pemotong (misalnya penyewanya orang pribadi), maka Koperasi dan UKM tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.
Penghasilan yang diterima Koperasi dan UKM yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut diatas, termasuk penghasilan dari bunga tabungan/deposito/diskonto SBI, penghasilan atas bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan perdagangannya di Bursa Efek, penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek yang PPh-nya dipotong oleh pihak pemberi penghasilan, wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh dari Koperasi dan UKM tersebut.
3)      PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 adalah pajak atas penghasilan yang tertentu yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk dipungut Pajak Penghasilannya.
Koperasi atau UKM yang bergerak di bidang industri tertentu dapat ditunjuk untuk memungut PPh Pasal 22 atas penjualan hasil pertanian, perkebunan dan perhutanan, perikanan dari pedagang pengumpul sebesar 0,25% dari harga pembelian (tidak termasuk PPN).
Koperasi dan UKM juga dapat ditunjuk sebagai pemungut oleh KPP apabila bergerak sebagai industri tertentu ataupun sebagai penjual produk tertentu misalnya bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.


4)      PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 adalah pajak atas penghasilan dari modal dan dari jasa tertentu. Apabila koperasi dan UKM melakukan pembayaran kepada pihak lain yang jenis penghasilan masuk kategori Objek PPh Pasal 23, maka wajib dilakukan pemotongan, menyetorkan hasil pemotongan ke Bank Persepsi dan kantor Pos serta melaporakannya ke KPP atau KP2KP tempat Koperasi dan UKM terdaftar. Adapun objek dan tarif PPh Pasal 23 secara garis besar adalah sebagai berikut :
·         Dividen, bunga, royalti, hadiah : tarif 15%.
·         Sewa dan penghasilan lain sehubungan penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pengggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) : tarif 2%.
·         Imbalan jasa selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang PPh : tarif 2%. Untuk Yang tidak berNPWP dipotong 100% lebih tinggi atau menjadi 4%.
5)      PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 adalah pajak atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajal luar negeri selain Bentuk Usaha tetap. Apabila Koperasi atau UKM yang berbentuk badan usaha membayar penghasilan kepada Wajib Pajak luar negeri, maka wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% atau tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
c.       Pelaporan
Sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Perpajakan, Surat Pemberitahuan (SPT) mempunyai fungsi sebagai suatu sarana bagi Wajib Pajak di dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang. Selain itu Surat Pemberitahuan berfungsi untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak baik yang dilakukan Wajib Pajak sendiri maupun melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemotong/pemungut, melaporkan harta dan kewajiban, dan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan dan pemungutan pajak yang telah dilakukan. Sehingga Surat Pemberitahuan mempunyai makna yang cukup penting baik bagi Wajib Pajak maupun aparatur pajak.
Pelaporan pajak disampaikan ke KPP atau KP2KP dimana Wajib Pajak UMKM terdaftar. SPT dapat dibedakan sebagai berikut :
·         SPT Masa, yaitu SPT yang digunakan untuk melakukan pelaporan atas pembayaran pajak bulanan. Ada beberapa SPT Masa :
o   Pajak Penghasilan Pasal 21.
o   Pajak Penghasilan Pasal 22.
o   Pajak Penghasilan Pasal 23.
o   Pajak Penghasilan Pasal 25.
o   Pajak Penghasilan Pasal 26.
o   Pajak Penghasilan Pasal 4 (2).
o   Pajak Penghasilan Pasal 15.
o   Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah.
o   Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
·         SPT Tahunan, yaitu SPT yang digunakan untuk pelaporan tahunan. Ada beberapa jenis SPT Tahunan :
o   Badan.
o   Orang Pribadi.
Saat ini khusus untuk SPT Masa PPN sudah dapat disampaikan secara elektronik (on-line) melalui aplikasi e-filing. Penyampaian SPT Tahunan PPh juga dapat dilakukan secara online melalui aplikasi e-SPT.
Keterlambatan pelaporan untuk SPT Masa PPN dikenakan denda sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), dan untuk SPT Masa lainnya dikenakan denda sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). Sedangkan untuk keterlambatan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi khususnya mulai Tahun Pajak 2008 dikenakan denda sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah), dan SPT Tahunan PPh Badan dikenakan denda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

3.      Kewajiban dalam Hal Diperiksa
Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa adalah :
a.       Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor.
b.      memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang Menjadi dasarnya, dan dokumen lain termasuk data yang dikelolah secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelolah secara elektronik.
c.       Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan.
d.      Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan.
e.       Meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor.
f.       Memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.
4.      Kewajiban Memberi Data
Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur pada Pasal 35A UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah Dengan UU Nomor 16 Tahun 2009.
Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan untuk setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain (kewajiban memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak         Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

B.     HAK WAJIB PAJAK
1.      Hak Atas Kelebihan Pembayaran Pajak
Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Untuk Wajib Pajak masuk kriteria Wajib Pajak Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima. Perlu diketahui pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan.
Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara :
a.       Melalui Surat Pemberitahuan (SPT).
b.      Dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
Apabila Direktorat Jenderal Pajak terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.

C.    ILUSTRASI
Cara penghitung PPh badan adalah :
1.      Menghitung Penghasilan Kena Pajak Setahun
Peredaran usaha                                       Rp. AAAA
Biaya-biaya Operasional                           Rp. BBBB
Penghasilan Netto                                     Rp. CCCC
Koreksi Fiskal (positif/negatif)                   Rp. DDDD
Penghasilan Kena Pajak                            Rp. XXXX
2.      Menghitung Pajak Terhutang berdasarkan tarif umum Pasal 17 UU PPh
PPh terutang = Penghasilan Kena Pajak (Rp XXXX) dikalikan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b yaitu 25%.
Contoh 1 :
Penghasilan Kena Pajak Rp. 200.000.000 maka perhitungan pajak terhutangnya : Rp. 200.000.000 x 25% = Rp. 50.000.000
Berdasarkan Pasal 31 E UU PPh, Koperasi atau UKM ini sebagai Wajib Pajak badan yang peredaran brutonya sampai Rp. 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah) maka mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum untuk Wajib Pajak badan atau menjadi 12,5% yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
UKM perseorangan yang menyelenggarakan pencatatan, cara penghitungan besarnya PPh :
Penghasilan netto (Penghasilan bruto setahun x norma*)      Rp AAA
Pengurangnya:
PTKP (sesuai keadaan orang pribadi tersebut)                   (Rp BBB)
Penghasilan Kena Pajak                                                      Rp CCC

Contoh :
Penghasilan Kena Pajak Rp. 200.000.000,00, maka perhitungan pajak terhutangnya : Rp. 200.000.000 x 25% = Rp. 50.000.000

UKM perseorang wajib menyetor PPh Pasal 25 (angsuran PPh) setiap bulannya dan melaporkannya ke KPP atau KP2KP tempat UKM perseorangan tersebut terdaftar. Dasar angsuran PPh Pasal 25 adalah 1/12 dari PPh yang terhutang tahun sebelumnya, misalnya PPh terutang UKM perseorangan tahun 2010 sebesar Rp. 2.400.000, maka angsuran PPh Pasal 25 nya adalah 1/12 x Rp. 2.400.000 = Rp. 200.000,-
Selain wajib mengangsur PPh (PPh Pasal 25), UKM perseorangan juga wajib menyetor PPh Pasal 4 ayat (2) yaitu penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan apabila UKM menerima penghasilan tersebut. Demikian juga dengan penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan yang diterima UKM perseorangan (penyewa bukan pemotong), wajib disetor sendiri.

Penghitungan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Final UMKM
Besarnya PPh Final yang harus disetor oleh Wajib Pajak yang terutang PPh Final UMKM, adalah 1% dari peredaran bruto (omzet) setiap bulan untuk setiap kegiatan usaha. Misalnya, Tuan Abdullah, pemilik usaha restoran di kota A dan di kota B. Omzet bulan Juli 2013 untuk restoran di kota A Rp200.000.000,00, dan omzet restoran di kota B adalah Rp150.000.000,00. PPh terutang untuk restoran di kota A adalah 1% x Rp200 Juta = Rp2 Juta dan PPh terutang untuk restoran di kota B adalah 1% x Rp150 Juta = Rp1,5 Juta.
Atas PPh Final yang terutang setiap bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha tersebut Wajib Pajak harus menyetorkannya ke kas negara. Pembayaran atau penyetoran dilakukan di bank persepsi atau kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Penyetoran dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Jadi, Tuan Abdullah harus menyetor PPh Final Rp2 Juta dan Rp1,5 Juta paling lambat tanggal 15 Agustus 2013.
Pembayaran Rp2 Juta dilakukan menggunakan kode KPP A (misal wilayah kerja KPP A adalah kota A).  Pembayaran Rp1,5 Juta dilakukan menggunakan kode KPP B (misal wilayah kerja KPP B adalah kota B). Untuk pengisian kode akun pajak dan kode jenis setoran adalah 411128 (kode akun pajak) dan 420 (kode jenis setoran).
Wajib Pajak kemudian harus melakukan pelaporan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Jadi Tuan Abdullah harus melaporkan pembayaran Rp2 Juta dan Rp1,5 Juta ke KPP A dan KPP B pada tanggal 20 Agustus 2013. Namun demikian, Wajib Pajak telah dianggap melaporkan atau menyampaikan SPT Masa, sesuai dengan tanggal validasi NTPN yang tercantum pada SPT Masa. Jadi, Tuan Abdullah, sebenarnya sudah dianggap melaporkan pada tanggal 15 Agustus 2013 kalau Tuan Abdullah melakukan pembayaran tanggal 15 Agustus 2013, di mana dalam SSP tercantum validasi NTPN.
Demikianlah, tatacara penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajak yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak yang terutang PPh Final 1%, yang pada umumnya merupakan Wajib Pajak pelaku usaha  kecil dan mikro, dan menengah (UMKM).

4 comments:

  1. Hi, saya mau bertanya. Saya sudah memiliki NPWP pada saat menjadi karyawan. Sekarang saya memiliki usaha florist tetapi belum berbentuk badan hukum karena baru start up jadi penjualan saya lakukan secara daring. Rata" omzet sekitar 30jt/bulan. Apakah saya harus daftar NPWP baru apabila mau membentuk badan usaha perorangan atau cukup menggunakan NPWP yang lama dan membayar 1% untuk omzet ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf sebenarnya saya hanya share materi saja, terus terang ilmu memang belum cukup. Tetapi sejauh yang saya tau, NPWP cukup satu saja karena itu nomor induk. Kalau mengenai perhitungan dan pembayaran bisa dikalkulasikan. Mohon maaf jika jawaban kurang berkenan, mungkin bisa ditanyakan ke forum lain. Terimakasih sudah mampir /\

      Delete
  2. Mau tanya nih, saya umkm tetapi mensupply juga ke perusahaan bentuk PKP, apakah sy hrs menjadi pkp juga
    atau tdk perlu menjadi pkp ? Krn yg langganan sy yg pkp itu cuma satu.
    kalau umkm saya hrs jadi pkp juga krn unk melayani cuma 1 customer yg pkp tsb sptnya sangat repot ya.
    Yg namanya persaingan bisnis bisa saja customer sy tsb beralih ke perusahaan lain, nah kalau gitu
    akan sangat repot bagi saya krn kalau udh pkp hrs wajib pembukuan.
    mohon pencerahannya.
    sebelum dan sesudahnya sy ucapkan banyak terima kasih.

    ReplyDelete
  3. Yth, Anonymous.. terimakasih sebelumnya telah mau mampir dan membaca posting dari blog saya.
    mohon maaf apabila dalam memberikan penjelasan kurang berkenan, karena saya juga masih belajar.
    mengenai pertanyaan saudara, setahu saya sejauh ini status PKP sifatnya pilihan bagi pengusaha. pada PMK tahun 2013 tentang PKP sudah dijelaskan batasan mana yang harus PKP dan mana yang boleh tidak menjadi PKP. (silahkan browsing)
    intinya, jika umkm anda tidak melebihi peredaran 4,8 miliar setahun tidak wajib menjadi PKP (boleh menjadi PKP jika berkenan).
    mungkin demikian yang dapat saya bagi informasinya, mohon maaf jika masih kurang.
    terimakasih sudah berkenan mampir di blog ini, semoga bermanfaat.

    ReplyDelete