Friday, 20 April, 2018
After midnight, duabelas kosong sembilan
Tak seperti biasanya aku masih belum terlelap dalam balutan mimpi, lewat tengah malam seperti ini dan aku masih terjaga menemani laptopku yang sedari tadi belum memjamkan layarnya. Membaca kerap kali membuatku lupa waktu, terlebih jika itu adalah bacaan cerita yang terangkum dalam karya prosa bernama novel. Satu hingga dua jam yang kuhabiskan untuk menikmati setiap alur dalam ceritanya bahkan tidak terasa olehku. Entahlah, mungkin inilah yang sering disebut membaca membuat candu. Meskipun kutahu ada lebih banyak orang yang tidak suka dengan kegiatan ini, apalagi jika itu tentang materi, teori dan konsep-konsep yang seakan membuat muntah jika keseringan dibaca. Hahaha, terlalu berlebihan sih menyebutnya seperti itu.
Malam ini aku baru saja menyelesaikan novel dari penulis yang baru-baru ini menarik perhatianku dengan karya-karyanya. “Pada Senja Yang Membawamu Pergi” buah tulisan karya Boy Candra yang membuatku terbawa suasana malam ini. entah karena apa, Boy Candra akhir-akhir ini menjadi salah satu penulis yang masuk dalam daftar penulis kesukaanku selain “Ibu Suri” Dee Lestari yang masih tetap jadi nomor satu menurutku. Novel “Pada Senja Yang Membawamu Pergi” ini merupakan novel kedua dari Boy Candra yang telah selesai kubaca. Berawal dari kiriman ebook dari adik sepupuku, aku mulai mengikuti pilihan kata-kata Boy Candra yang tertulis dari tangannya. Novel karya Boy Candra yang pertama kubaca adalah “Seperti Hujan Yang Jatuh Ke Bumi”. Nuansa romantis dari kata-kata dalam novel itu sekan menjadi stimulan untukku mencari tahu lebih banyak tentang buku-buku karyanya. Bahasa yang ringan namun tetap terasa manis tergambar dalam beberapa part yang menjadi bagian kesukaanku. Salah satu yang aku sukai dari novel Boy Candra adalah selalu ada kutipan yang enak dibaca di setiap berganti bagian (setidaknya sampai novel kedua yang kubaca ini).
Menurutku, Boy Candra termasuk salah satu penulis yang pandai mengambil hati para pembaca dengan menghadirkan alur cerita yang seolah bisa dialami oleh siapapun yang membacanya. Terlebih untuk urusan romantisme kata-kata, Boy Candra selalu bisa menempatkan kalimat yang terasa sangat manis untuk dibaca dan dibayangkan. Sangat cocok dengan kehidupan remaja masa kini, mungkin sih, setidaknya aku sendiri bisa tenggelam dalam alur cerita yang seolah bisa aku rasakan dan aku alami sendiri. Tak jarang senyum-senyum kecil tersimpul dari bibirku saat membaca part yang membuatku bisa membayangkan jika aku mengalaminya sendiri. Saat aku menulis ini pun terkadang masih terngiang bayangan cerita novel yang baru saja selesai kubaca. Haha, senyum kecil tersimpul lagi di bibirku :-). Novel “Pada Senja Yang Membawamu Pergi” yang baru saja kubaca ini seolah membawaku kembali pada masa ketika di perkuliahan. Yahh meskipun belum genap setahun aku menyelesaikan studi S1-ku, masa kuliah di sebuah perguruan tinggi seakan tergambar di beberapa bagian dalam novel ini. tidak sepenuhnya sama memang, namun sungguh kuakui bahwa cerita di novel ini benar-benar membawaku kembali mengingat masa-masa perkuliahan, terlebih di 2 semester terakhir perkuliahanku.
Persahabatan, harapan, cita, dan cinta terangkum manis dibalut indahnya cerita kehidupan anak kos juga seluk-beluk kisah mahasiswa semester akhir. Walau tak semuanya terjadi dalam kisa perkuliahanku (terutama soal cinta dan asmara), tapi alur cerita ini cukup membuatku membayangkan kehidupan masa-masa perkuliahan yang kulalui dengan banyak cerita. Dimulai dari persahabatan yang begitu akrab dan dekat, cerita di novel ini mengingatkanku pada sahabat-sahabatku kala masih kuliah (entah mereka menganggapku sahabat atau enggak, setidaknya aku menganggapnya seperti itu, hehe). Kumpul bersama, main bareng, makan bareng, sampai saling berbagi segala cerita antara kami pun menjadi makanan sehari-hari. Satu lagi yang tidak ketinggalan dan tidak patut ditiru, ngrasani menjadi hal paling membuat kangen yang wajib bagi setiap lahan kumpul kami. Tidak peduli bahan pembicaraannya mulai dari teman sendiri, dosen, kebijakan, sistem pelayanan, sampai kalau kami sedang berada di jalur yang benar membahas tentang agamapun jadi hal yang menarik. Hal-hal seperti ini tergambar oleh kehidupan Gian, Andre, Randi, dan Putri dalam novel. Sebagai mahasiswa semester tua yang mendekati kelulusan yang mengharuskan mereka disibukkan berbagai urusan masing-masing, tetapi nuansa kumpul bersama tetap tidak ditinggalkan. Bahkan makan bersama di warung kesukaan, main bersama melepas lelah pun masih dilakukan oleh mereka. Ahh jadi ingat sahabat-sahabatku di sana, “Hey, kalian baik-baik saja kan?”.
Sampai pada kalimat yang kutulis ini, waktu di analog pojok kanan bawah laptopku menunjukkan angka 12:54 AM. Itu artinya sudah sekitar 45 menit aku menuliskan cerita ini. Aku berharap tidak hanya sampai di tulisan ini saja, karena masih ada banyak yang sebenarnya ingin kuceritakan tentang novel dan tentang kehidupanku masa itu. Tapi sepertinya aku harus memutar otak untuk membuatnya sederhana agar lebih terasa nyaman dibaca dan tidak berbelit-belit. Aku mulai mengubah posisi yang tadinya duduk tegak menjadi tengkurap, mencoba meluruskan badan yang sebenarnya aku tahu posisi ini menjadikanku rawan mengantuk. Ahh biar sajalah ini mengalir apa adanya, sampai pada seberapa kuat aku akan menuliskan cerita untuk mengiring malam menuju pagiku nanti. Masih diiringi dua lagu yang sedari tadi kuputar berulang-ulang, mungkin sudah lima kali lagu “Satu Jam Saja” dan “Larut Menuju Pagi” ini kuputar. Tak apa, hanya dua lagu ini yang aku tahu bisa menemani sunyinya malam ini sembari aku menuliskan cerita. Pukul satu lebih satu menit dini hari dan aku masih belum menemukan kata yang tepat untuk melanjutkan cerita yang telah tersusun menjadi kalimat demi kalimat di atas.
Sejenak aku mengingat persahabatan yang tergambar oleh keempat tokoh di novel ini hampir sempurna menggambarkan persahabatanku, atau mungkin pada kebanyakan mahasiswa pada umumnya juga. Makan bersama, pergi ke perpustakaan kampus bersama, main bersama, saling mengunjungi kos atau rumah pun pernah, pergi menonton acara festival kampus bersama pun tidak terlewatkan oleh kami. Apalagi careness yang terjalin diantara kami pun sudah sedemikian erat, meskipun tidak seekstrim “aku rela mati demi kamu”, tapi kami pernah melaluinya bersama-sama. Tentang skripsi, jangan ditanyakan lagi. Hampir setiap ketemu, topik yang selalu menjadi awalan pembahasan adalah sebuah karya berbentuk buku tebal dengan sampul hitam dan tulisan emas yang bernama skripsi itu. Tetapi yang aku salutkan dari novel ini adalah kejelian seorang Boy Candra memasukkan rahasia umum tentang skripsi yang kenyataannya tidak sepenuhnya murni. Sempat tertawa juga membaca penjelasan Andre dalam cerita “penelitian itu formalitas saja, pada akhirnya data yang diperoleh tidak semuanya dapat digunakan, karena beberapa alasan. Selain itu kalau ada data yang tidak pas, pembimbing pun akan meminta ‘menjadikan’ data itu bisa digunakan atau dengan kata lain akan ada pengolahan data untuk memperoleh data yang diinginkan”. Itulah yang terjadi saat ini dikebanyakan kehidupan mahasiswa semester tua yang sedang berhadapan dengan skripsi, meskipun juga tidak menutup masih ada juga yang berjalan sebagaimana mestinya. Jual-beli skripsi juga sudah menjadi hal yang normal dan sah-sah saja, karena nantinya yang dipertanggungjawabkan adalah isi dari apa yang ditulis bukan bagaimana proses menjadi sebuah skripsi tersebut. Hal yang aku salutkan lagi dari novel ini adalah kata-kata Andre yang meskipun dia tidak menyukai sistem pendidikan yang seperti itu, dia tidak banyak mengomentari karena merasa masih belum punya daya unuk bisa memberikan solusi. Selain itu, tidak ada judgement untuk mereka-mereka yang melakukan hal-hal tersebut, karena semua kembali pada diri masing-masing, setidaknya dia masih berusaha menjalani setiap prosesnya meskipun tidak sepenuhnya benar. Dia jujur melakukan dan mengatakannya, point nya adalah Kejujuran itu merupakan sebuah harga diri. Setidaknya perkuliahan ataupun skripsi sekalipun adalah sebuah pertanggungjawaban dari sesuatu yang dimulai dan harus diselesaikan, namun semuanya kembali pada yang menjalani. Mau cepat, lambat, nyantai, atau berhenti sekalipun, itu adalah keputusan yang harus dipertanggungjawabkan. I like it so much!
Makan bersama sudah, nongkrong bersama sudah, main bersama sudah, sharing dan cerita sudah, bahas skripsi sudah juga, selanjutnya part yang menjadi ujung dari pertemuan. Terpisah oleh keadaan yang sudah pasti akan terjadi setelahnya, setelah semua hiruk-pikuk kebersamaan yang dijalani ternyata ada titik perpisahan yang menanti. Sidang yang berlanjut ke seremonial wisuda menjadi hal yang menampilkan pergelutan antara bahagia dan kesedihan yang menjadi satu. Satu sisi syukur kebahagiaan menyelimuti karena telah berhasil menyelesaikan salah satu kewajiban dalam studi, namun di sisi yang lain kesedihan memaksa ikut menyapa karena akan berpisah dengan orang-orang yang selama ini membersamai perjalanan selama menuntut ilmu. Situasi ini tergambar dalam novel ketika momen wisuda Putri, satu-satunya gadis yang tergabung dalam ikatan persahabatan mereka. Baik Putri ataupun ketiga sahabat laki-lakinya itu sama-sama merasa kehilangan sosok yang selama ini membersamai perjalanan hidup menjadi seorang mahasiswa. Keadaan ini pula yang kurasakan saat melewati momen wisuda, artinya aku harus siap menjalani hidup yang tak seperti biasanya. Aku harus siap terpisahkan jarak dan waktu dengan sahabat-sahabat yang sebelumnya selalu menemani, juga harus siap membuka diri untuk kehidupan yang baru. Bagiku pribadi keadaan seperti ini terasa berat untuk dijalani, jujur saja aku adalah tipe orang yang akan sangat kesulitan jika tanpa hadirnya seorang teman. Oleh karenanya, berpisah dengan teman atau sahabat adalah hal yang terasa begitu berat kurasakan. Seolah sahabat adalah harta berharga yang tak ternilai, sebab itu aku selalu berusaha menempatkan sahabat di ruang terbaik. Selalu ada tempat terbaik untuk seorang sahabat.
Tulisan ini sempat terhenti beberapa waktu, karena sesuatu hal yang tak bisa kujelaskan. Sebenarnya, untuk melanjutkannya pun aku merasa sangat berat. Sebab menulis kenangan akan terasa lebih mudah ketika kita sedang merasa dalam posisi yang mendukung. Itu artinya akan sangat sulit melanjutkan sebuah tulisan yang diawali oleh rasa, sebab perasaan akan berubah seiring bergantinya waktu. Meskipun agak terasa sulit, namun aku berusaha menyelesaikan tulisan ini agar tidak terasa mengambang dalam bayang saja. Tulisan ini berawal dari perasaan rindu yang muncul akibat terlalu dalam terjerumus dalam alur novel “Pada Senja Yang Membawamu Pergi”, bukan mendramatisir tetapi menurutku novel ini sangat relevan dengan kehidupan mahasiswa, terutama kehidupan masa perkuliahan yang aku jalani. Sejenak teringat momen-momen tak terlupakan yang pernah dilalui bersama sahabat-sahabatku. Lewat tulisan ini juga, aku tak bisa menyembunyikan lagi kerinduan kepada kalian.
“hai bek, masih suka pesen indomie dobel telur pake cabe kan?”
“dinar, minggu ini udah makan indomie berapa kali?”
“kit, cit, mel, dep, lancar kan kerjanya?”
“cind, masih mancung kan?”
“null, kapan nikah?”
“kak, mau sidang kapan?”
Pertanyaan-pertanyaan yang kutujukan untuk sahabat-sahabat disana. Ahh jadi ingat, ada beberapa kata yang kutuliskan menjelang wisudaku. “Menjadi apapun kita nanti, seperti apapun kita nanti, semoga Tuhan masih berkenan izinkan kita menjaga persahabatan ini”, kata-kata yang sempat tertulis olehku itu semoga menjadi doa. Teringat lirik sederhana dari Ungu,
Hidup hanya sebuah rencana
Yang tak akan pernah bisa terulang
Sama seperti kisahku dengan kalian, biarkan tetap begitu adanya, indah dan tak akan pernah terulang. Hanya bisa diingat, karena semuanya terekam indah dan tersimpan rapi dalam album yang bernama “Kenangan”. Ketika kalian baca tulisan ini nanti, aku ingin kalian tahu bahwa saat menuliskan ini aku sedang merindukan kalian. :)
Terimakasih Boy Candra atas novel “Pada Senja Yang Membawamu Pergi” yang telah membawaku juga mengingat sahabat-sahabatku, juga kehidupan masa kuliahku. Meskipun pada akhirnya aku belum bisa bertemu dengan Aira, tapi tak apa. Perjalanan masih panjang, semoga Aira dalam novel ini menjelma menjadi nyata dalam kehidupan. Jika bukan dalam kehidupanku, semoga dia hadir dalam kehidupan Gian-Gian yang lain di dunia nyata. “Aira, Kamu dimana?” ;)
terkadang rasa rindu bisa saja menjelma menjadi apa saja yaa.. semangat menulis
ReplyDeleteterima kasih atas informasinya silahkan kunjungi kami balik http://bit.ly/2MSWYL5
ReplyDeleteTerimakasih kembali karena sudah mampir di blog kami. salam hangat!
Delete